A. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya
penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat ditemukan sampai sekarang dimana
bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti
(batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M,
contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan
Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di
gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti
peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 – 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan
adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa
Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan
melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
B. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama
Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada
Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu – Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia
mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha
yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami
Sinkritisme. Apa yang dimaksud dengan Sinkritisme? Sinkritisme adalah
bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan
yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang
berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu – Budha yang dianut
oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat
dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada
di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu
Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
C. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat
dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang
berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem
pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang
diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan
dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari
seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja
Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan
turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip
musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak
mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan
Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di
samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem
kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem
kasta.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana
(golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta
Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu
Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India
karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan,
sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya
diterapkan untuk upacara keagamaan.
D. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu
perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam
kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365
hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun
sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 =
732 M
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? kalau Anda sudah
paham, silahkan Anda isi tabel 1.2 dengan tahun saka prasasti
peninggalan Sriwijaya berikut ini
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan
perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala
adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka.
Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau
Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu
kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang =
0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan
belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang
merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
E. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat
dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang
mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia
tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di
Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui
dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah
kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan
pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut
terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah
punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan
Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi
bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi
tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah
satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan
untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan
orang-orang terkemuka.
Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi
artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi
bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang
menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan
terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah
meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan
fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa,
contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan
tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu
untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa.
Untuk candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia
stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha.
Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan
tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur
budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang
bercorak Indonesia.
F. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni
sastra dan seni pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya
dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul
pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang
berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Contohnya adalah relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha
sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini
mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab
Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu.
Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam
kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief
candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata
Indonesia juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana
kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan
asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian
terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi
selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya
suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari
kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang
ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan
umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses
seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh
pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh
cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan
seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda
yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar
Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari
Kediri melawan Jenggala.
Di
samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai
suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya
pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu
kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang
tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi
dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon
ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya
India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami
perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau
perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan
tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi
Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia
Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar